Kamis, 27 Agustus 2020

[Book Review] Menjadi Manusia Rohani




SEBENARNYA beberapa waktu lalu, tepatnya saat buku ini belum lama terbit dan aku sudah membacanya, ulasan yang kubuat ini hendak kukirimkan ke sebuah koran. Namun ternyata, aku malah lupa untuk mengirimkannya. Ya sudah. Langsung kutampilkan di sini saja. 

O, ya. Mungkin kalian bertanya-tanya, "Mengapa menunda pengiriman waktu itu?" 

Jawabanku, "Sebab merasa kurang pede, butuh menyuntingnya sekali lagi. Mengapa kurang pede? Karena buku ini buku berat bagiku." 

Cerita yang sejujurnya, aku takut ulasanku itu ditolak mentah-mentah oleh redaktur. Hahaha! Namun, sudahlah. Yang terpenting sekarang kalian bisa membacanya. 



Mari Berbahagia dengan Menjadi Manusia Rohani
Oleh Agustina Purwantini

MENJADI MANUSIA ROHANI (Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab al-Hikam). Demikian  judul lengkap buku keren ini. Lalu, apa arti manusia rohani? Berdasarkan hasil pembacaan terhadapnya, saya menyimpulkan bahwa manusia rohani adalah manusia yang sadar diri akan masa depannya di akhirat kelak. 

Manusia rohani memiliki pandangan hidup yang visioner. Cara berpikirnya futuristik-ukhrawi. Ia tidak terpenjara dalam masa kini. Kesibukan duniawi yang kini digeluti tidak menyebabkannya lalai akan perkara-perkara akhirat. Justru apa pun aktivitas duniawi yang dilakukannya, ia manfaatkan sebagai sarana untuk mencapai surga-Nya.

Dalam segala hal, seorang manusia rohani senantiasa bersandar pada Allah SWT. Kalau mencapai sebuah kesuksesan, ia mampu tetap rendah hati. Tak kemudian berbangga diri. Apalagi sampai menepuk dada dengan jumawa.

Bagi seorang manusia rohani, kesuksesan dan kegagalan adalah murni pemberian-Nya. Meskipun usaha telah dimaksimalkan hingga (ibaratnya) tak ada celah untuk gagal, tetap saja bisa gagal jika Allah SWT menghendaki gagal. Jadi, tugas manusia hanyalah berusaha sebaik mungkin dan melengkapi usaha tersebut dengan doa semaksimalnya.  

Usaha maksimal memang penting, tetapi bukan segalanya. Itulah sebabnya sikap berserah diri mutlak diperlukan. Jika berpikir bahwa usaha adalah satu-satunya faktor penentu kesuksesan, saat gagal kita justru akan ngenes alias merana berat (halaman 8).

Demikianlah adanya buku ini. Spiritnya adalah mengajak pembaca untuk enjoy dalam menjalani hidup. Apa pun kondisi yang dihadapi, baik susah maupun senang, mestinya tak ada alasan untuk tidak berbahagia.

Namun perlu diketahui, bahagia itu tak hanya saat gembira. Dalam penderitaan pun ada kebahagiaan. Secara gamblang penulis menjelaskan, “Sambutlah penderitaan dengan sikap optimisme, kegembiraan, sebab Tuhan sedang mendekatimu, sedang ingin mengenalmu.” (halaman 51)

Selain berbahagia sebab selalu ikhlas dengan apa pun yang dihadapi/dimiliki, seorang manusia rohani juga tak pernah sombong. Manusia itu hamba. Cocoknya bersikap rendah hati. Jika masih sombong, berarti belum layak menjadi manusia rohani. Apalagi sombong dalam hal beribadah; merasa lebih taat pada Allah SWT ketimbang orang lain.

Poin paling menarik diuraikan pada bab 21 “Bagaimana Menjadi Sufi di Era Digital?”. Mengapa paling menarik? Karena di situ dijelaskan mengenai cara menjadi sufi pada era digital. Bikin penasaran ‘kan? Apalagi selanjutnya ada bab yang berjudul “Sufisme Justru Dibutuhkan di Tengah Keramaian”. Sementara selama ini kita beranggapan bahwa seorang sufi selalu hidup dalam kesunyian.  

Sulitkah menjadi manusia rohani? Bisa jadi begitu. Akan tetapi, sebenarnya siapa pun dapat menjadi manusia rohani. Tentu sejauh mau sungguh-sungguh berproses. Caranya? Tinggal ikuti saja “instruksi” yang terurai dalam ke-50 bab buku ini. Yang sejatinya ke-50 bab tersebut merupakan intisari dari bait-bait hikmah dalam kitab Hikam Athaiyah.  

Menilik judulnya, buku ini terkesan berat untuk dipahami oleh kalangan nonsantri. Namun, percayalah. Bahasa dan cara penyampaian sang penulis berhasil “meringankannya”. Terlebih judul-judul babnya dibuat sedemikian rupa hingga dengan hanya membaca daftar isinya saja, kita sudah mampu memperoleh gambaran isi dari tiap-tiap bab.

Di antaranya judul bab “Sumelehlah, Jangan Kemerungsung”, “Kehendak Besar, Kehendak Kecil”, “Optimisme Terhadap Kenyataan Hidup”, “Penderitaan Memperdalam Pengertian Kita Tentang Makna Hidup”, “Kuburlah Dirimu di Balik Ketaktenaran”, “Iman Berarti Memiliki Pandangan Jauh ke Depan”.

Alhasil bait-bait hikmah al-Hikam yang disampaikan dalam buku ini, menjadi relatif mudah dipahami semua kalangan. Walaupun sebenarnya ada penjelasan-penjelasan yang “berat”, pembaca awam tertolong oleh cara penyampaian sang penulis. Kiranya inilah keunggulan buku Menjadi Manusia Rohani karya Ulil Abshar Abdalla. 

Data Buku

Judul Buku: 
Menjadi Manusia Rohani (Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Atha’illah dalam Kitab al-Hikam)  

Penulis:   
Ulil Abshar Abdalla

Penerbit: 
Alifbook & el-Bukhori Institute

Tahun Terbit: 
Januari 2019

Ukuran Buku: 
13 x 19 cm

Tebal: 
xxii + 292 hlm

ISBN: 
978-602-53634-2-9




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.