BARU
kali ini aku butuh waktu lama untuk menuntaskan novel Tere Liye. Bukan sebab
terlalu tebal. Bukan pula karena susah dipahami. Hanya saja, beberapa kali aku
terbawa emosi. Terharu berat, bahkan sampai berurai air mata.
Sungguh di luar prediksi. Asal tahu saja, seterharu apa pun biasanya aku mampu menahan tangis. Namun rupanya, kali ini luar biasa.
Apa penyebabnya? Tentu karena ceritanya memang mengharukan. Berpotensi membuat siapa pun ikut bersedih. Baik bersedih sebab berempati-bersimpati pada nasib para tokoh cerita maupun bersedih karena teringat pada nasib diri sendiri. Hehehe ....
Begitulah adanya. Secara garis besar buku ini menepuk bahu kita. Menyemangati dan mengingatkan bahwa kesedihan dalam hidup merupakan keniscayaan. Tidak mungkin dapat kita tolak, jika mampir di hidup kita.
Maka kita tak boleh kalah dari kesedihan. Lebih baik berdamai dengannya daripada berusaha keras untuk melupakannya.
Mengapa begitu? Sebab upaya melupakan tersebut akan sia-sia belaka. Kita tidak akan pernah bisa. Makin keras upaya kita untuk melupakannya, makin susah pula bagi kita untuk menerima kenyataan.
Padahal, kesedihan adalah sesuatu yang nyata. Nyata-nyata dapat dirasakan. Hendak sesering apa pun berupaya melupakannya, kita tidak bakalan bisa. Saat sedang beneran lupa, kita memang aman. Akan tetapi begitu kembali ingat, kita ditanggung bakalan kembali terluka. Sementara ingatan akan suatu kesedihan bisa muncul sewaktu-waktu.
Lain halnya jika memilih berdamai. Manakala kita berdamai dengan kesedihan, kapan pun kesedihan itu menyeruak ke dalam ruang ingatan, kita akan baik-baik saja. Stabil.
Konsep “berdamai dengan kesedihan” inilah yang senantiasa ditekankan oleh Tegar kepada Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Yakni keempat gadis kecil yang mendadak jadi yatim.
Sang ayah (Nathan) menjadi salah satu korban tewas akibat teror bom di Jimbaran, Bali. Sementara sang ibu (Rosie) yang tak kuat menanggung kesedihan mendalam, terserang depresi berat. Otomatis tak sanggup merawat dan mengasuh anak-anaknya. Apalagi Lili masih berusia setahun.
Tak ayal lagi, hanya Tegar yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sahabat Nathan dan Rosie itu bahkan sampai “menunda” pertunangan-pernikahannya dengan Sekar. Tak main-main. Penundaannya hingga mencapai dua tahun. Hingga Rosie dinyatakan sembuh total dan boleh pulang dari pusat rehabilitasi.
Apakah semua rencana berjalan mulus? Sayang sekali jawabannya tidak. Pada akhirnya, ketika tinggal beberapa menit saja untuk berikrar sehidup semati dengan Sekar, takdir pun diturunkan bagi Tegar.
Tegar dan Sekar batal menikah. Sekar justru meminta calon suaminya itu untuk menikah dengan Rosie. Mengapa begitu? Apa penyebabnya? Hmm. Tentu saja aku tak akan membeberkannya di sini. Silakan kalian cari sendiri bukunya, dong. Oke? Hehehe ....
Sungguh di luar prediksi. Asal tahu saja, seterharu apa pun biasanya aku mampu menahan tangis. Namun rupanya, kali ini luar biasa.
Apa penyebabnya? Tentu karena ceritanya memang mengharukan. Berpotensi membuat siapa pun ikut bersedih. Baik bersedih sebab berempati-bersimpati pada nasib para tokoh cerita maupun bersedih karena teringat pada nasib diri sendiri. Hehehe ....
Begitulah adanya. Secara garis besar buku ini menepuk bahu kita. Menyemangati dan mengingatkan bahwa kesedihan dalam hidup merupakan keniscayaan. Tidak mungkin dapat kita tolak, jika mampir di hidup kita.
Maka kita tak boleh kalah dari kesedihan. Lebih baik berdamai dengannya daripada berusaha keras untuk melupakannya.
Mengapa begitu? Sebab upaya melupakan tersebut akan sia-sia belaka. Kita tidak akan pernah bisa. Makin keras upaya kita untuk melupakannya, makin susah pula bagi kita untuk menerima kenyataan.
Padahal, kesedihan adalah sesuatu yang nyata. Nyata-nyata dapat dirasakan. Hendak sesering apa pun berupaya melupakannya, kita tidak bakalan bisa. Saat sedang beneran lupa, kita memang aman. Akan tetapi begitu kembali ingat, kita ditanggung bakalan kembali terluka. Sementara ingatan akan suatu kesedihan bisa muncul sewaktu-waktu.
Lain halnya jika memilih berdamai. Manakala kita berdamai dengan kesedihan, kapan pun kesedihan itu menyeruak ke dalam ruang ingatan, kita akan baik-baik saja. Stabil.
Konsep “berdamai dengan kesedihan” inilah yang senantiasa ditekankan oleh Tegar kepada Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Yakni keempat gadis kecil yang mendadak jadi yatim.
Sang ayah (Nathan) menjadi salah satu korban tewas akibat teror bom di Jimbaran, Bali. Sementara sang ibu (Rosie) yang tak kuat menanggung kesedihan mendalam, terserang depresi berat. Otomatis tak sanggup merawat dan mengasuh anak-anaknya. Apalagi Lili masih berusia setahun.
Tak ayal lagi, hanya Tegar yang menjadi tumpuan hidup mereka. Sahabat Nathan dan Rosie itu bahkan sampai “menunda” pertunangan-pernikahannya dengan Sekar. Tak main-main. Penundaannya hingga mencapai dua tahun. Hingga Rosie dinyatakan sembuh total dan boleh pulang dari pusat rehabilitasi.
Apakah semua rencana berjalan mulus? Sayang sekali jawabannya tidak. Pada akhirnya, ketika tinggal beberapa menit saja untuk berikrar sehidup semati dengan Sekar, takdir pun diturunkan bagi Tegar.
Tegar dan Sekar batal menikah. Sekar justru meminta calon suaminya itu untuk menikah dengan Rosie. Mengapa begitu? Apa penyebabnya? Hmm. Tentu saja aku tak akan membeberkannya di sini. Silakan kalian cari sendiri bukunya, dong. Oke? Hehehe ....
Namun, ada satu hal penting yang ingin kusampaikan kepada kalian. Begini. SUNSET & ROSIE ini mengajak kita untuk menikmati hidup, seburuk apa pun kondisinya. Sebab sesungguhnya, ada banyak cara untuk menikmati sepotong kehidupan meskipun kalian sedang tertikam belati sedih (hlm 108).
O, ya. Aku ingat sekarang. Dua hal yang paling menyebabkan tangisku pecah adalah terjadinya teror bom di Jimbaran dan kondisi keempat buah hati Nathan-Rosie.
Kita tentu sama-sama tahu, kalau peristiwa keji tersebut beneran pernah terjadi di dunia nyata. Memakan banyak korban. Yang pastinya masing-masing korban meninggalkan orang-orang yang mereka sayangi. Oh! Betapa manusia bisa demikian jahat kepada sesamanya ....
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku:
Sunset & Rosie
Penulis:
Tere
Liye
Penerbit:
Mahaka Publishing
Tahun Terbit:
2018 (Cetakan ke-22)
Ukuran Buku:
13.5 x 20,5 cm
Tebal:
iv + 426 hlm
ISBN:
978-602-98883-6-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.