Aruna & Lidahnya |
SESUNGGUHNYA aku lupa kalau punya novel ini. Entahlah kapan aku membelinya. Yang jelas, baru seminggu lalu aku menemukannya di sela-sela tumpukan barang yang centang perenang. Andaikata seminggu lalu aku tak terjangkiti virus rajin beberes, mungkin sampai sekarang pun aku belum sadar akan kehadirannya di hidupku. Haha!
Syukurlah Tuhan YME kembali mempertemukan kami. Alhasil, segera tuntaslah Aruna & Lidahnya kubaca. Yang berarti ulasanku di blog ini bertambah satu. Bagi kalian yang belum sempat membacanya, ulasan ini tentu dapat menjadi bahan pertimbangan. Apakah kalian mesti segera mencari dan membacanya? Atau sebaliknya, memutuskan batal untuk membacanya.
Baiklah. Mari kita bahas mulai dari sampulnya. Menurutku, desain sampulnya simpel dan lembut. Biru muda adalah warna yang mendominasi; yang memancarkan kesan lembut. Sementara gambar (ilustrasi) sampulnya, baik sampul depan maupun sampul belakang, sangat simpel.
Hanya ada satu gambar mangkuk berisi huruf A besar warna merah di sampul depan. Yang pastilah huruf itu menyimbolkan "Aruna". Mangkuk tersebut bermotif ayam jago. Yakni model mangkuk tempo doeloe yang belakangan kembali naik daun (lihat foto di bawah). Sementara di sampul belakang--bagian bawah--ada foto sang novelis. Dan, bagian atasnya berupa ringkasan isi novel.
Mengapa perihal sampul kubahas detil? Apa istimewanya? Jelas istimewa, dong. Karena menurutku, warna dan gambar sampulnya menyiratkan isi novelnya.
Jangan lupa. Judul buku ini Aruna & Lidahnya. Isinya tentang pengalaman Aruna dalam mencicipi aneka rupa makanan. Sementara mangkuk identik sebagai wadah makanan. Jadi, ada benang merah di antara judul dan gambar mangkuk tersebut.
Novel yang berkisah tentang perjalanan, makanan, dan konspirasi ini ibarat sebuah alunan lagu yang lembut. Konflik-konflik di dalamnya terjadi secara lembut. Gugatan-gugatan sang novelis, yang disampaikan melalui para tokoh ceritanya, terhadap perilaku korup para pejabat kementerian pun berlangsung lembut (tenang). Demikian pula gugatan-gugatan sang penulis terhadap hal-hal lainnya. Tidak disampaikan dengan ngotot dan melalui kalimat-kalimat kasar. Kiranya, dominasi warna biru muda pada sampul telah menyiratkan hal ini.
Namun tentu saja, yang paling mengesankan adalah paparan kisah petualangan lidah para tokohnya (Aruna, Bono, Nadezhda). Yakni petualangan dalam berburu aneka rupa makanan. Dari satu daerah ke daerah lainnya, di seantero Indonesia.
Apakah mereka, terutama Aruna sang tokoh utama, merupakan orang-orang gembul bin rakus? Hmm. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tergantung pada cara kita memandangnya. Jika dilihat dengan kacamata awam (apa adanya), mereka memang tampak sebagai serombongan tukang makan belaka. Terlebih faktanya, Aruna dan kedua sahabatnya memang sama-sama terobsesi oleh makanan. Seperti yang ditulis di sampul belakang novel.
Namun, marilah mendekat. Simak baik-baik obrolan mereka saat makan. Mereka ternyata menikmati makanan secara serius. Tak semata-mata untuk membasmi lapar. Obrolan mereka terkait makanan tak sekadar berisi komentar enak dan tak enak. Tak melulu dalam kerangka kuliner. Namun juga melibatkan faktor sejarah, budaya, adat istiadat, perilaku individu dan masyarakat, bahkan agama.
Yang mereka pilih pun bukan sembarang menu, melainkan menu-menu spesial dari berbagai daerah di Indonesia. Yang jauh-jauh hari sudah mereka masukkan ke dalam daftar khusus (list) untuk dicicipi. Dan sudah pasti, Chef Bono adalah si pemilik list terpanjang.
Mujurlah mereka sebab Bono dan Nadezhda suatu ketika bisa menguntit perjalanan dinas Aruna. Yang kebetulan sebagai ahli wabah (epidemiologist), Aruna ditugaskan untuk menyelidiki kasus flu unggas di berbagai kota di pelbagai wilayah Indonesia. Dengan demikian, ketiganya bisa melakukan petualangan lidah bersama-sama.
Bagiku, novel ini sangat menghibur dan menambah wawasan. Darinya aku menjadi lebih paham tentang gastronomi, menjadi tahu asal muasal nama pempek Palembang, menjadi sedikit tahu mengenai rupa-rupa wine, dan ... menjadi bangga sebab khazanah kuliner Indonesia yang dahsyat.
Dan kukira, novel ini bisa pula berfungsi sebagai rujukan wisata kuliner. Yakni wisata kuliner di Banda Aceh, Medan, Palembang, Pontianak, Singkawang, Pamekasan, Bangkalan, dan Surabaya. Tepatnya wisata kuliner plus. Plus apa? Plus objek wisata, dong.
Eit, jangan salah sangka. Meskipun banyak memperbincangkan makanan, novel ini pun ada bumbu romantisnya. Ada kisah cinta antara Aruna dan Farish, sang kolega kerja yang semula tak disukai Aruna. Ada kisah cinta bertepuk sebelah tangan antara Bono dan Nadezhda.
Selain itu, bertebaran pula kalimat-kalimat pengingat. Yeah .... semacam quote-quote tentang hidup. Di antaranya yang berbunyi, "Kita mendapat justru ketika kita tak mengharap."
Nah, lho. Aruna & Lidahnya memang sebuah novel yang menarik. Layak dibaca. Bisa menjadi hiburan, obat galau, serta penambah wawasan kuliner dan banyak hal lain terkait kehidupan. Seingatku sama sekali tak ada salah ketik. Sumber datanya pun kuat.
Meskipun tak setuju pilihan Aruna dan Farish untuk kumpul kebo, aku tetap menyarankan kalian untuk membaca buku ini. Tentu bukan untuk meniru, melainkan untuk tahu kisah cinta mereka yang sebenarnya. Siapa mereka sebenarnya? Apa penyebab mereka memilih jalan itu?
Namun yang terpenting, aku ingin kalian lebih mengenal makanan-makanan Indonesia. Lebih bangga dan makin mencintainya. Begituuu.
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku : Aruna & Lidahnya
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2014
Ukuran Buku : 14 5x 21 cm
Tebal Buku : 428 hlm
ISBN : 978-602-03-0852-4
Jangan lupa. Judul buku ini Aruna & Lidahnya. Isinya tentang pengalaman Aruna dalam mencicipi aneka rupa makanan. Sementara mangkuk identik sebagai wadah makanan. Jadi, ada benang merah di antara judul dan gambar mangkuk tersebut.
Novel yang berkisah tentang perjalanan, makanan, dan konspirasi ini ibarat sebuah alunan lagu yang lembut. Konflik-konflik di dalamnya terjadi secara lembut. Gugatan-gugatan sang novelis, yang disampaikan melalui para tokoh ceritanya, terhadap perilaku korup para pejabat kementerian pun berlangsung lembut (tenang). Demikian pula gugatan-gugatan sang penulis terhadap hal-hal lainnya. Tidak disampaikan dengan ngotot dan melalui kalimat-kalimat kasar. Kiranya, dominasi warna biru muda pada sampul telah menyiratkan hal ini.
Namun tentu saja, yang paling mengesankan adalah paparan kisah petualangan lidah para tokohnya (Aruna, Bono, Nadezhda). Yakni petualangan dalam berburu aneka rupa makanan. Dari satu daerah ke daerah lainnya, di seantero Indonesia.
Apakah mereka, terutama Aruna sang tokoh utama, merupakan orang-orang gembul bin rakus? Hmm. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tergantung pada cara kita memandangnya. Jika dilihat dengan kacamata awam (apa adanya), mereka memang tampak sebagai serombongan tukang makan belaka. Terlebih faktanya, Aruna dan kedua sahabatnya memang sama-sama terobsesi oleh makanan. Seperti yang ditulis di sampul belakang novel.
Sampul belakang |
Namun, marilah mendekat. Simak baik-baik obrolan mereka saat makan. Mereka ternyata menikmati makanan secara serius. Tak semata-mata untuk membasmi lapar. Obrolan mereka terkait makanan tak sekadar berisi komentar enak dan tak enak. Tak melulu dalam kerangka kuliner. Namun juga melibatkan faktor sejarah, budaya, adat istiadat, perilaku individu dan masyarakat, bahkan agama.
Yang mereka pilih pun bukan sembarang menu, melainkan menu-menu spesial dari berbagai daerah di Indonesia. Yang jauh-jauh hari sudah mereka masukkan ke dalam daftar khusus (list) untuk dicicipi. Dan sudah pasti, Chef Bono adalah si pemilik list terpanjang.
Mujurlah mereka sebab Bono dan Nadezhda suatu ketika bisa menguntit perjalanan dinas Aruna. Yang kebetulan sebagai ahli wabah (epidemiologist), Aruna ditugaskan untuk menyelidiki kasus flu unggas di berbagai kota di pelbagai wilayah Indonesia. Dengan demikian, ketiganya bisa melakukan petualangan lidah bersama-sama.
Bagiku, novel ini sangat menghibur dan menambah wawasan. Darinya aku menjadi lebih paham tentang gastronomi, menjadi tahu asal muasal nama pempek Palembang, menjadi sedikit tahu mengenai rupa-rupa wine, dan ... menjadi bangga sebab khazanah kuliner Indonesia yang dahsyat.
Dan kukira, novel ini bisa pula berfungsi sebagai rujukan wisata kuliner. Yakni wisata kuliner di Banda Aceh, Medan, Palembang, Pontianak, Singkawang, Pamekasan, Bangkalan, dan Surabaya. Tepatnya wisata kuliner plus. Plus apa? Plus objek wisata, dong.
Eit, jangan salah sangka. Meskipun banyak memperbincangkan makanan, novel ini pun ada bumbu romantisnya. Ada kisah cinta antara Aruna dan Farish, sang kolega kerja yang semula tak disukai Aruna. Ada kisah cinta bertepuk sebelah tangan antara Bono dan Nadezhda.
Selain itu, bertebaran pula kalimat-kalimat pengingat. Yeah .... semacam quote-quote tentang hidup. Di antaranya yang berbunyi, "Kita mendapat justru ketika kita tak mengharap."
Penuh kalimat pengingat a. k. a. quote |
Nah, lho. Aruna & Lidahnya memang sebuah novel yang menarik. Layak dibaca. Bisa menjadi hiburan, obat galau, serta penambah wawasan kuliner dan banyak hal lain terkait kehidupan. Seingatku sama sekali tak ada salah ketik. Sumber datanya pun kuat.
Meskipun tak setuju pilihan Aruna dan Farish untuk kumpul kebo, aku tetap menyarankan kalian untuk membaca buku ini. Tentu bukan untuk meniru, melainkan untuk tahu kisah cinta mereka yang sebenarnya. Siapa mereka sebenarnya? Apa penyebab mereka memilih jalan itu?
Namun yang terpenting, aku ingin kalian lebih mengenal makanan-makanan Indonesia. Lebih bangga dan makin mencintainya. Begituuu.
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku : Aruna & Lidahnya
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2014
Ukuran Buku : 14 5x 21 cm
Tebal Buku : 428 hlm
ISBN : 978-602-03-0852-4
Kelihatannya menarik untuk dibaca, dari segi coverpun sangat simpel. namun justru kesimpelan itu yang membuatku penasaran untuk membacanya. Gambar mangkok ayam jago yang merupakan ciri khas Indonesia banget hehe
BalasHapusEhh, apa iya begitu ya? Mangkuk gambar ayam jago itu ciri khas Indonesia? Hehehe... Malah enggak sadar akuuh.
Hapus