HALO .... Apa kabar kalian? Semoga tetap sehat selalu meskipun pandemi covid-19 belum berlalu. Bahkan saya dengar dari kabar terkini, pandemi ini di Indonesia belum akan reda kalau belum sepuluh tahun. Wow!
Ya sudahlah. Ketimbang didera perasaan negatif akibat terintimidasi kabar tersebut dan kabar-kabar lain yang senada, lebih baik kalian baca-baca tulisan di blog ini. Insyaallah bisa meningkatkan imunitas tubuh sebab penuh inspirasi dan motivasi. Muehehehe ....
Adapun kali ini, saya akan memperbincangkan tentang novel baru Bang Tere Liye. Silakan langsung dinikmati.
Novel Selamat Tinggal menunjukkan, betapa ironi dalam hidup itu nyata adanya. Yang salah bisa terlihat sebagai pahlawan. Yang benar malah tampak sebagai pecundang. Acap kali ironi tersebut ada di dekat kita. Bahkan mungkin tanpa sadar, kita termasuk salah satu pelakunya.
Ada orang yang biasa-biasa saja meskipun tahu dirinya pecundang. Terlebih kalau yang tampak di luaran, ia bukanlah pecundang. Namun, ada orang yang dihantui rasa bersalah sekalipun kesalahan yang dilakukannya telah menjadi “kelumrahan”; tidak lagi dianggap kesalahan oleh khalayak.
Alhasil, butuh tekad dan nyali kuat untuk menjadi seorang idealis, yang selalu sama antara perkataan dan perbuatan. Tanpa kedua hal itu, tentu mustahil. Mengapa? Karena menjadi idealis tidak mudah. Ada banyak tantangan dan cemoohan, bahkan dari orang-orang terdekat. Hanya orang yang mau menanggung segala konsekuensinya yang mampu bertahan untuk menjadi seorang idealis.
Itulah sebabnya Sintong, tokoh utama novel ini, butuh waktu beberapa tahun untuk mundur dari tugasnya menjaga toko buku bajakan milik sang paman. Padahal sesungguhnya, ia sudah ingin mundur sejak minggu pertama. Namun, apa daya? Biaya kuliahnya ditanggung penuh oleh sang paman.
Sebagai mahasiswa sastra yang bercita-cita menjadi penulis handal, Sintong merasa berkhianat pada dunia literasi. Sampai-sampai ia sempat kehilangan kemampuan menulisnya mulai tahun ketiga kuliah, tersebab deraan rasa itu. Terlebih ia kemudian kenal Ratu, bocah 12 tahun, cucu seorang penulis tenar yang menjadi penjual makanan asongan di Gunung Gede.
Dalam suatu kesempatan ke Gunung Gede bersama anak-anak kampus, Sintong sengaja memperkenalkan dan berkisah tentang Ratu kepada Bunga. Targetnya supaya Bunga, yang diketahuinya merupakan putri bos percetakan buku bajakan, terbuka mata hati.
Bunga syok mengetahui fakta kontradiktif tersebut. Ia yang sebenarnya pernah berusaha membakar tempat percetakan sang papa (namun gagal), jadi makin membenci bisnis keluarganya. Sintong memaklumi reaksi Bunga. Dahulu, ketika pertama kali tahu tentang Ratu, ia pun bereaksi sama. Itulah sebabnya ia membesarkan hati Bunga.
Katanya, “Kejam sekali memang industri bajakan. Dan itulah salah satu realitasnya. Keluarga penulisnya hidup miskin, sementara pembajak, penikmat buku bajakan, pembaca e-book ilegal, mereka bahkan memiliki HP, baju, sepatu, yang harganya hanya mimpi bagi anak-anak penulis buku tersebut. Tidak terbeli. Ratu tahu ia cucu seorang penulis besar, tapi apa gunanya fakta tersebut? Hidupnya sangat keras di puncak Gunung Gede ….” (hlm 315)
Iya. Novel ini mengkritik tajam para pelaku bisnis pembajakan buku yang menggurita. Yang pada dasarnya mencuri, tetapi tak sadar (atau tak mau sadar) bahwa bisnis mereka merupakan kejahatan yang terbungkus slogan keren: membantu penyediaan buku murah berkualitas. Sungguh palsu!
Kalau kalian penggemar karya Bang Tere Liye, bisa pula baca ulasan untuk Sunset & Rosie yang ada di blog ini.
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku:
Selamat Tinggal
Penulis:
Tere Liye
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Terbit:
November 2020
Tebal:
360 hlm
Ukuran Buku:
14 x 20 cm
ISBN:
978-602-064-7821
waah ternyata novel terbaru belio yaa mbak. Emang produktif sekali sih bang Tere Liye
BalasHapusYoi. Produktif dan konsisten.
HapusMenarik ya Mba sepertinya buku ini.. Setau aku ini memamg ditulis Tere Liye karena keresahannya dg banyakny pembajakan di dunia literasi. Aku pribadi jg pernh ebook bajakan buku ku dijual 5ribu perak di instagram 😭
BalasHapusBenar. Ini menyuarakan protes Bang TL. Setahuku beliau juga gigih memperjuangkan peningkatan kesejahteraan penulis, tetapi malah kayak dirundung warganet, dikatain apa masih kurang penghasilannya sebagai penulis. padahal, di berjuang untuk penulis lain yang belum seberuntung dia dalam hal finansial. Demikian setahuku.
HapusAku sudah baca buku ini, memang keren ceritanya, nggak menyangka Sintong si penjaga toko buku bajakan bakal jadi bersinar ya hidupnya..kirain pemuda tanpa masa depan...
BalasHapusHehe iya, Mbak, jalan ceritanya tak terduga.
HapusJujur, saya kira Tere Liye itu mbak mbak... ternyata aBang toh ? 😁
BalasHapusEeeh, abang-abang ganteng yang punya istri cantik looh.
Hapuswah kayaknya bagus banget ini bukunya. Menyentil ranah kepenulisan sekaligus percetakan, bajakan dan lain sebaginya.
BalasHapusIya. Menurut saya, ini protesan terselubung namun manis dan keras. Keren.
HapusBukunya kayaknya menarik, dan sangat menyentuh sisi dari penulis, percetakan, dan lika likunya terkait pembajakan karya, kapan-kapan saya akan coba baca
BalasHapusAyolah baca, Bang.
HapusWaahhhh pasti bagus banget ya pastinya
BalasHapusJadi penasaran isinya
ayo, mas, cari bukunya saja hehehehe
HapusTernyata spoilernya ngga banyak, wkwk.
BalasHapusTere Liye memang pandai sekali menulis sesuatu yg cukup ironi di sekitar kita.
Iyaaa, enggak banyak. Sekadar untuk memancing orang agar ingin banget beli dan baca.
Hapus