Kamis, 14 Mei 2020

[Book Review] Hikayat The Da Peci Code

Sampul Depan 


BEGITU saja buku ini muncul, tatkala aku sedang beres-beres lemari. 
Entahlah bagaimana dulu, buku ini bisa sampai ke lemariku. 
Sungguh-sungguh lupa aku. 
Ini hasil beli atau hadiah kuis atau hadiah apalah-apalah? Hahaha! 

Namun, baiklah. Mari kita lupakan soal itu. 
Sekarang kita bahas saja isinya. Oke? Hmm. Ketahuilah. 
Membahas isi buku jauh lebih berfaedah daripada mempersoalkan 
dari mana datangnya buku tersebut. 


Sampul Belakang 


Baik. Mari kita mulai membahasnya dari judul dan sampul. Ada apa dengan judul dan sampul novel ini? Ternyata kedua elemen tersebut sama-sama mengabarkan tentang kejenakaan. Kenyataannya,  gaya bercerita novel ini memang lumayan jenaka. Bikin pembaca senyum-senyum simpul sendiri. Dari awal sampai akhir novel.

Padahal, tema yang dikemukakan lumayan berat. Berkaitan dengan agama (Islam). Terkhusus mengenai sejarah peci sehingga dianggap punya kaitan erat dengan agama. Bahkan, menjadi simbol identitas agama Islam. Sementara peci sebetulnya tidak termasuk ajaran agama. Tidak pula yang berpeci, pasti orang beragama Islam.

Faktanya, banyak orang dari berbagai agama yang punya tradisi berpeci. Tentu dengan pelbagai model, bahan, dan warna. Penutup kepala yang dikenakan Paus pun sebenarnya peci. Demikian juga penutup kepala yang dikenakan oleh orang-orang Yahudi.

Yup!  Perihal peci inilah yang menggerakkan cerita. Bermula dari keengganan Rosid bin Mansur al-Gibran, sang tokoh utama novel ini, memakai peci putih. Baik saat ke masjid maupun saat menghadiri acara-acara pengajian dan pertemuan klan al-Gibran. Padahal, memakai peci putih adalah sebuah keharusan bagi klan al-Gibran.

Itulah sebabnya ayah Rosid panik luar biasa ketika sang anak enggan berpeci putih. Ia merasa gagal sebagai orang tua. Penyebabnya, ia tidak sanggup mendidik Rosid untuk meneruskan tradisi klan. Sementara Rosid adalah satu-satunya anak lelaki di keluarga Mansur.

Sang ayah yang sangat serius dalam menanggapi keengganannya berpeci putih, bikin Rosid memberontak. Baginya, sikap sang ayah berlebihan. Apalagi sampai menganggap Rosid melanggar aturan agama, hanya gara-gara tak mau berpeci putih.

Lain halnya dengan Rosid yang cenderung easy going. Keengganannya berpeci putih pun  disebabkan oleh hal (alasan) praktis. Ia hanya tidak mau memotong rambut kribonya. Sementara peci putih kecil tidak mungkin bisa terpasang sempurna di rambut kribo Rosid yang mengembang dahsyat.

Iya. Sebenarnya Rosid hanya tidak mau memakai peci. Bukan tidak mau shalat berjamaah di masjid. Bukan pula tidak mau hadir ke pengajian dan acara klan al-Gibran. Akan tetapi, ayahnya kekeuh mewajibkan Rosid berpeci putih. Tanpa peci putih berarti pelanggaran.

Selain tentang peci putih, masih ada hal-hal sensitif lain yang disentil novel ini. Melalui dialog-dialog yang kocak,  hal-hal sensitif keagamaan itu diuraikan tanpa tedheng aling-aling. Misalnya yang tersurat pada dialog di halaman 88. Rosid yang muslim menjawab lugas pertanyaan Anto, sang dosen Sejarah yang gemar menenggak minuman beralkohol.

....

"Kamu nggak minum bir, Sid?" tanya Anto.

"Nggak, Mas," jawab Rosid tersenyum.

"Kenapa, haram, ya?" tanya Anto tertawa.

"Betul, Mas. Minuman beralkohol memabukkan."

"Kalau mabuk kenapa, dosa, ya?" tanya Anto lagi, sesaat sebelum tegukan yang kedua.

"Betul, Mas, dosa."

"Apa benar Tuhan sebegitu galaknya, Sid, menghukum hamba-Nya yang sekadar menikmati sensasi unik pengaruh alkohol? Bukankah yang penting kita nggak  berbuat jahat terhadap orang lain?" tanya Anto lagi.

....

Pendek kata, novel tak begitu tebal ini ternyata sungguh-sungguh bergizi. Tampilan sampulnya yang cenderung bergaya artifisial sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai "berat" yang dimuatnya. Kerennya, semua narasi dan dialog berat disampaikan secara natural. Lebur dalam obrolan renyah para tokoh. Tidak bernada orasi menggurui pembaca. Tidak pula menghakimi Rosid yang batal memutus hubungan asmaranya dengan Delia, pacarnya yang berbeda agama.

Sejujurnya saya sendiri tak menyangka, jika novel ini amat keren. Tampilan sampulnya 'kan santai sekali. Apalagi ada label "SEGERA DIFILMKAN" segala dalam sampulnya.

O, ya. Novel ini terbitan lama, ya. Dan akhirnya, memang sudah betul-betul difilmkan. Filmnya diberi judul 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta. Bintangnya antara lain Reza Rahardian, Laura Basuki, dan Arumi Bachsin. Mungkin di antara kalian ada yang dulu menontonnya?


SPESIFIKASI BUKU

Judul Buku:
Hikayat The Da Peci Code

Penulis:
Ben Sohib

Penerbit:
Bentang

Tahun Terbit:
2010 (Mei)

Ukuran:
14 x 20,5 cm

Tebal:
vi + 186 hlm

ISBN:
978-602-8811-06-4



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.