AKU menemukan buku ini secara tidak sengaja. Bahkan, ketika sedang tak berencana meminjam buku dari Grhatama Pustaka. Maklumlah. Barusan aku mesti membayar denda keterlambatan pengembalian buku. Jadi ada semacam rasa trauma atau patah hati gitu, deeeh. Hehehe ....
Tapi takdir berkata lain. Pada suatu rak aku menemukan buku ini. Maksud hati membacanya di tempat, tapi kawanku mengajak segera pulang. Ya sudah. Rasa kepo yang tinggi terhadap isi buku, membuatku berkeputusan untuk meminjamnya.
Dan, syukurlah. Meskipun boleh dibilang ketinggalan momentum saat membacanya, aku tetap memperoleh sesuatu dari buku ini. Yakni sesuatu yang berupa kesadaran bahwa sebenarnya kita--bangsa Indonesia--cenderung bermental dan bersikap SARA.
Secara teoretis kita senantiasa mengutuk perilaku SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Tapi faktanya? Kita kerap kali mempraktikkan perilaku tersebut dalam hidup keseharian. Mau kita akui atau tidak, faktanya begitu. Padahal, sudah lebih dari 70 tahun NKRI berdiri.
Apa boleh buat? Kesadaran yang kuperoleh dari buku ini memang tentang sesuatu yang kurang asyik. Tapi sedihnya, hal tersebut bukan isapan jempol semata. Dan Ahok, selaku objek utama perbincangan buku ini, adalah sosok yang sering didera isu SARA. Sejak kecil hingga dewasa.
Dalam buku ini dikemukakan beberapa contoh perlakuan diskriminatif tersebut. Namun, ada satu perlakuan yang paling membuatku tertegun. Yakni perlakuan guru sekolah Ahok yang--tatkala itu--melarangnya bertugas sebagai pengerek bendera. Hanya gara-gara kulit terang dan mata sipitnya. Wah!
Mengapa sang guru tega bersikap begitu? Kalau memang ia meragukan jiwa nasionalisme Ahok, mengapa justru melarang? Bukankah akan lebih solutif, jika ia berusaha mempertebal rasa nasionalisme sang murid? Salah satu caranya ya dengan mengizinkan Ahok mengerek sang merah putih. Ah? Entahlah.
O, ya. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan para Kompasianer terpilih. Maka tiap tulisan punya warna dan rasa yang berlainan. Sesuai dengan opini masing-masing kompasianer terhadap sosok Ahok. Kiranya kondisi demikian justru menyebabkan buku ini terjaga objektivitasnya. Tak ada tulisan yang terlalu mendewa-dewakannya. Tak ada pula yang terlalu nyinyir.
Di atas sempat kusinggung perihal ketinggalan momentum membaca. Maksudnya begini. Ahok untuk Indonesia terbit ketika ia menjadi DKI-2. Sementara aku membacanya empat tahun kemudian. Saat yang bersangkutan berada di penjara sebab tuduhan penistaan agama Islam.
Hidup memang misteri. Empat tahun lalu Ahok yang DKI-2 masihlah serupa bintang terang. Tapi kini kondisinya sangat berbeda. Ahok tak lagi menjadi DKI-2. Ia bahkan sedang mendekam di hotel prodeo. Bukan sebab tak amanah, melainkan sebab terpeleset lidah. Dan lagi-lagi, isu SARA bermain di situ.
Apa boleh buat? Ahok yang meledak-ledak gaya bicaranya ternyata mesti terpeleset oleh lisannya sendiri. Terlepas dari siapa yang benar siapa yang salah, mana yang hoax mana yang bukan, dan entah apa yang sesungguhnya terjadi, faktanya Ahok mesti masuk penjara.
Tapi fakta pula yang belakangan ini bisa sama-sama kita saksikan. Yakni fakta bahwa Ahok masih merupakan sesuatu untuk Indonesia. Atau paling tidak, namanya belum dapat disebut redup meskipun dipenjara. Buktinya saat ini, baik buku maupun film yang berjudul A Man Called Ahok sama-sama ramai peminat.
Secara umum buku ini lumayan menginspirasi. Tapi sayang sekali mesti ternodai oleh hadirnya salah ketik di sana sini. Sederetan salah ketik memang tak mereduksi pesan yang disampaikan. Hanya saja, bukankah sederetan salah ketik itu menggerogoti kekerenan sampul bukunya?
Mengapa sang guru tega bersikap begitu? Kalau memang ia meragukan jiwa nasionalisme Ahok, mengapa justru melarang? Bukankah akan lebih solutif, jika ia berusaha mempertebal rasa nasionalisme sang murid? Salah satu caranya ya dengan mengizinkan Ahok mengerek sang merah putih. Ah? Entahlah.
O, ya. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan para Kompasianer terpilih. Maka tiap tulisan punya warna dan rasa yang berlainan. Sesuai dengan opini masing-masing kompasianer terhadap sosok Ahok. Kiranya kondisi demikian justru menyebabkan buku ini terjaga objektivitasnya. Tak ada tulisan yang terlalu mendewa-dewakannya. Tak ada pula yang terlalu nyinyir.
Di atas sempat kusinggung perihal ketinggalan momentum membaca. Maksudnya begini. Ahok untuk Indonesia terbit ketika ia menjadi DKI-2. Sementara aku membacanya empat tahun kemudian. Saat yang bersangkutan berada di penjara sebab tuduhan penistaan agama Islam.
Hidup memang misteri. Empat tahun lalu Ahok yang DKI-2 masihlah serupa bintang terang. Tapi kini kondisinya sangat berbeda. Ahok tak lagi menjadi DKI-2. Ia bahkan sedang mendekam di hotel prodeo. Bukan sebab tak amanah, melainkan sebab terpeleset lidah. Dan lagi-lagi, isu SARA bermain di situ.
Apa boleh buat? Ahok yang meledak-ledak gaya bicaranya ternyata mesti terpeleset oleh lisannya sendiri. Terlepas dari siapa yang benar siapa yang salah, mana yang hoax mana yang bukan, dan entah apa yang sesungguhnya terjadi, faktanya Ahok mesti masuk penjara.
Tapi fakta pula yang belakangan ini bisa sama-sama kita saksikan. Yakni fakta bahwa Ahok masih merupakan sesuatu untuk Indonesia. Atau paling tidak, namanya belum dapat disebut redup meskipun dipenjara. Buktinya saat ini, baik buku maupun film yang berjudul A Man Called Ahok sama-sama ramai peminat.
Secara umum buku ini lumayan menginspirasi. Tapi sayang sekali mesti ternodai oleh hadirnya salah ketik di sana sini. Sederetan salah ketik memang tak mereduksi pesan yang disampaikan. Hanya saja, bukankah sederetan salah ketik itu menggerogoti kekerenan sampul bukunya?
SPESIFIKASI BUKU
Judul : Ahok untuk Indonesia
Editor : Nurulloh
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2014
Ukuran Buku: 15 x 23 cm
Tebal Buku : 244 + xvi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.