Sabtu, 20 Maret 2021

[Book Review] 168 Jam dalam Sandera

 
 
SUDAH pernah melihat buku yang sampul depannya tampak pada foto di atas? Atau, malah sudah pernah membacanya? Kalau sudah pernah membacanya, baik dengan sungguh-sungguh maupun secara sambil lalu, mestinya tak asing lagi. Bahkan saat melihat foto di atas, bisa seketika menjadi teringat akan isinya. Jadi, ya sudah. Tak perlu lanjut baca tulisan ini. Muehehehe .... 
 
Namun kalau lupa, ayolah lebih baik lanjut membaca. Lagi pula, saya pasti sedih kalau sudah repot-repot menulis, eh, dicuekin saja. Hahaha!
 
O, ya. Sebenarnya buku ini terbitan lama. Saya pun membacanya jauh sebelum pandemi Corona terjadi. Ketika mudik ke kampung halaman (Pati), secara tak sengaja saya menemukannya nyelip di antara koleksi buku bapak saya.
 
Jadi sesungguhnya, rencana untuk mengulasnya pun sudah lama. Kalau faktanya baru sekarang rencana tersebut tertuntaskan, yeah .... Apa boleh buat? Hehehe .... 
 
Tentang apakah buku ini?  Sesuai dengan judulnya, buku ini mengisahkan pengalaman disandera selama 168 jam. 
 
Siapa yang disandera? Yang disandera Meutya Hafid (reporter Metro TV) dan Budiyanto (kamerawan Metro TV). Lihat foto sampul buku di atas. Keduanya tampak berdiri diapit kedua penculik mereka. 
 
Siapa yang menculik? Penculik mereka adalah pasukan Mujahidin Irak. Tatkala itu Meutya dan Budi sedang bertugas meliput pemilu di Irak. Ketika tugas tersebut kelar dan mereka sudah dalam perjalanan keluar dari Irak, datang tugas susulan dari Jakarta. 
 
Mereka diminta sekalian menunggu hasil pemilu dan melaporkan hasilnya. Sembari menunggu,  mereka juga diminta meliput kemeriahan Hari Raya Asyura di Karbala (jika ingin tahu tentang Hari Raya Asyura silakan berselancar sendiri, ya).
 
Nah! Dalam perjalanan putar balik ke Baghdad itulah "drama" dimulai. Ketika singgah di sebuah POM bensin, sekelompok orang yang di kemudian hari diketahui dari kelompok Mujahidin Irak, menculik Meutya dan Budi beserta pemandu mereka (yang merangkap sebagai sopir).
 
Perlu diketahui bahwa POM bensin tersebut berlokasi di wilayah kekuasaan kelompok Sunni. Sementara perayaan di Karbala dilakukan oleh kelompok Syiah. Mujur bagi Meutya dan Budi, ketika para penyandera menanyakan keperluan mereka datang ke Irak, Meutya tak kepleset lidah.  
 
Meutya menjawab bahwa mereka akan meliput pemilu. Itu saja. Tak sampai menambahkan kalau hendak meliput perayaan di Karbala juga. 
 
Tentu akan lain kejadiannya bila sampai kepleset lidah. Pasti perlakuan yang mereka terima selama disandera bakalan berbeda. Hal ini mengingat adanya friksi  antara kelompok penyandera dan kelompok penyelenggara perayaan yang hendak diliput tim jurnalis Metro TV tersebut. 
 
Tentu saja keberuntungan tak kepleset lidah itu adalah keberuntungan yang berdasar. Meutya memang telah mempelajari detil medan tempatnya bertugas. 
 
Seiring dengan upaya keras Metro TV dan pemerintah RI untuk membebaskan Meutya dan Budi, kisah penyanderaan keduanya pun menjadi buah bibir dunia. 
 
Singkat cerita atas segala daya upaya banyak pihak, mereka akhirnya dibebaskan tanpa syarat. Semua orang pastilah senang ketika pihak penyandera mengumumkan pembebasan tersebut. Namun sebenarnya, sebelum Meutya dan Budi keluar dari Irak, semuanya belum bisa merasa lega. 
 
Bisa saja usai dilepas kelompok Mujahidin, mereka disandera lagi oleh kelompok lainnya. Bisa pula terjebak ranjau darat atau tertembak atau terkena kemungkinan buruk lainnya. 
 
Situasinya serba rumit. Kondisi dan lokasi penyanderaan pun mengerikan; berupa gua di tengah gurun pasir. Letaknya tak jauh dari medan tempur. Maka perjalanan menuju perbatasan Irak-Yordania merupakan perjalanan yang sungguh-sungguh tak mudah. Risikonya amat besar. 
 
Meutya menuliskan pengalaman mereka disandera dengan lumayan deskriptif dan detil. Jadi, ketegangan yang mereka rasakan selama tinggal di gua bersama sang penyandera bisa tertransfer ke pembaca. Pendek kata, membaca buku ini serasa membaca sebuah novel petualangan yang menegangkan. 
 
Menurut saya, terlepas dari beberapa kekurangannya, buku ini wajib dibaca oleh kaum muda yang bercita-cita menjadi jurnalis. Isinya bisa menjadi inspirasi dan motivasi untuk meraih cita-cita tersebut.  
 
Selain pengantar dari Presiden SBY, buku ini memuat banyak testimoni dari sejumlah tokoh maayarakat. Salah satunya dari Babang NicSap. Hmm. Silakan cari di mana testimoninya pada foto-foto berikut. 
 






 
Demikian ulasan saya terhadap buku 168 Jam dalam Sandera. Tak jadi soal andai kata baru sekarang kalian tahu buku ini. Toh faedah dan spiritnya tak tereduksi meskipun terentang jarak panjang antara tahun terbitnya dan tahun kalian membacanya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali 'kan? 
 
Peristiwa penyanderaan ini pun menyadarkan Meutya dan Budi, betapa  nyawa sungguh berharga jika dibandingkan dengan berita paling eksklusif sekalipun. 
 
O, ya. Ada satu perkataan Budi yang sangat menyentuh hati saya. Berikut kutipannya. 
 
"Kalau di peluru itu tidak tertera nama kita,  ya kita tidak akan kena, Mut. " (hlm 209) 
 
Iya. Benar kata Budi. Segalanya memang telah tertera di laufulmahfuz.
 
 
SPESIFIKASI BUKU 
 
Judul Buku: 
168 JAM DALAM SANDERA Memoar Jurnalis Indonesia yang Disandera di Irak
 
Penulis:
Meutya Hafid

Penerbit:
Penerbit Hikmah
 
Tahun Terbit: 
2007
 
Ukuran Buku:
13x19 cm
 
Tebal Buku:
219 hlm
 
ISBN:
9789791141215
 

6 komentar:

  1. Belum pernah bacanya...
    Waah serem banget ya mbak sampe ttg ada Mujahidin Iraq nya yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Biasanya kita cuma baca,dengar, dan nonton beritanya dari media massa. Ehh, itu Meutya dan Budi langsung nemuin.


      Hapus
  2. Saya belu, pernah baca buku ini. Tapi kayanya pernah denger sekilas twntang penyanderaan reporter ini.
    Berhubung yang menceritakannya adalah reporter langsung, tentu ketegangannya terasa banget ya saat baca buku ini. Baca reviewnya saja sudah deg-degan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, yang menulis ngalamai langsung dan merupakan reporter handal di lapangan. Jadinya ya memang terasa lebih "hidup".

      Hapus
  3. sudah pernah liat sih covernya, dulu kan rame. cari di ipusnas ah! belum ada rencana beli buku fisik, mau pindahan, jadi gak usah nambah barang dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, semoga ada yaa di ipusnas.

      Baidewe idem dong kita, saya pun sedang merampingkan barang-barang demi memperingan beban pindahan.

      Hapus

Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.