BAGI penggemar karya SDD (Sapardi Djoko Damono), judul novel ini pastilah mengingatkan pada sebuah puisi fenomenal. Yakni puisi yang juga ditulis oleh SDD. Yang judulnya pun sama persis.
Mengapa saya katakan fenomenal? Sebab puisi tersebut melejit ketenarannya.
Terbukti disukai banyak orang. Terlebih ketika dijadikan lirik lagu (musikalisasi)
dan menjadi soundtrack sebuah film. Kian
bertambah saja yang menyukainya.
Sungguh keren ‘kan? Betapa sebuah judul bisa dialihkan
ke dalam berbagai bentuk karya. Semula merupakan judul puisi, lalu dibuat musikalisasi
(menjadi lagu), kemudian dijadikan komik, rencananya nanti jadi film, dan yang
sedang kita perbicangkan ini adalah bentuk novelnya.
Sebenarnya saya sendiri
belum pernah melihat bentuk komiknya. Informasi mengenai bentuk filmnya pun
saya belum tahu, apakah sudah dibuat atau masih dalam tahap rencana. Namun yang
jelas, ada informasinya di sampul belakang novel.
Dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film, kini puisi "Hujan
Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono beralih wahana menjadi novel.
Yang
bikin makin keren, apa pun bentuk atau wahananya, semua disukai banyak orang. Novel
yang saya baca ini saja merupakan cetakan yang ke-18. Dahsyat ‘kan? Betapa nama
SDD memang menjadi semacam jaminan mutu. Plus sangat menjual tentunya.
Lalu, berkisah
tentang apakah novel Hujan Bulan Juni?
Novel ini bercerita tentang kisah cinta Sarwono dan Pingkan. Keduanya sama-sama
dosen di sebuah universitas di Jakarta. Daerah asal mereka juga sama, yaitu
Solo.
Yang berbeda adalah agama dan suku bangsa mereka. Sarwono adalah orang Jawa
tulen dan beragama Islam. Sementara Pingkan adalah seorang Nasrani. Darahnya pun
campuran sebab ibunya Jawa dan ayahnya Manado.
Akan tetapi, para orang tua tidak
berkeberatan dengan rencana pernikahan mereka. Semua keputusan diserahkan kepada
yang akan menjalani. Yakni Sarwono dan Pingkan.
Yang kasak-kusuk menolak sejak awal justru keluarga besar ayah
Pingkan. Salah seorang tantenya bahkan terang-terangan menjodohkan Pingkan
dengan sesama pria Manado. Kolega Sarwono pula. Padahal, Sarwono telah bela-belain ikut Pingkan “mudik sejenak”
ke kampung halaman sang ayah.
Alasannya klasik. Khas masyarakat Indonesia yang
majemuk di segala lini: perbedaan agama
dan suku bangsa.
Namun sesungguhnya, kisah cinta Sarwono dan Pingkan hanyalah alat. Yakni alat untuk menyampaikan amanat sang penulis, mengenai keniscayaan banyaknya
“kasus percintaan” seperti yang dialami Sarwono-Pingkan, di bumi Indonesia tercinta.
Maklum saja. Indonesia kita ini ‘kan sangat majemuk. Dan menurut saya, SDD lumayan
berhasil menyajikan tema sensitif itu dengan cair, bahkan sesekali cenderung kocak.
O, ya. Novel Hujan Bulan Juni memang tipis.
Namun, janganlah disepelekan atau dibaca sambil lalu. Sebab faktanya, novel tersebut
agak rumit.
Isinya mengajak kita untuk berpikir kembali mengenai keindonesiaan
kita. Terutama yang terkait dengan kemajemukan dalam agama dan suku bangsa. Yang
kerap kali mematahkan hati pasangan majemuk seperti Sarwono-Pingkan.
Iya,
mematahkan hati. Karena pada akhirnya, hubungan asmara serupa itu terpaksa dikandaskan.
Apa boleh buat?
Lalu, bagaimana halnya dengan Sarwono dan Pingkan? Mereka akhirnya
menikah atau tidak? Hmm. Saya sengaja tidak memberitahukannya di sini supaya
kalian penasaran. Kalau penasaran ‘kan berpotensi untuk membacanya langsung.
Haha!
Demikianlah adanya. Novel yang mempergunakan alur sorot balik (flashback) ini memang agak rumit. Pantas
saja pada sampul depan, ada label “18 tahun ke atas”. Kiranya pelabelan tersebut
mengacu pada tingkat pemahaman dan pengalaman (calon) pembaca.
Saya sendiri merasa amat beruntung pernah
membaca Musashi (Eiji Yoshikawa) dan Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa THE RELIGION OF JAVA (Clifford Geertz). Jadi, saya betul-betul bisa nyambung dengan
novel ini. Apa sebabnya? Sebab Hujan
Bulan Juni melalui dialog antara Sarwono dan Pingkan, serta monolog yang
dilakukan Sarwono, banyak menyinggung isi kedua buku tersebut.
Nah, lihatlah.
Betapa sebuah novel ditulis dengan sedemikian serius dan pelik. Referensinya
pun buku yang tak sembarangan. Jadi, siapa bilang novel--yang notabene fiksi--merupakan
karya yang “main-main” belaka?
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku:
HUJAN
BULAN JUNI
Penulis:
Sapardi Djoko
Damono
Penerbit:
Gramedia Pustaka
Utama
Tahun Terbit:
Oktober
2019 (cetakan ke-18)
Tebal:
vi + 138 hlm
Ukuran:
14x20 cm
ISBN:
978-602-03-1843-1
aq juga punya bukunya di rumah tapi belum selesai dibaca, dan entah kemana tersimpan..hahaha
BalasHapusweih...eman-eman gak dibaca tuntas
HapusSepertinya aku jadi tergoda untuk membacanya juga nih, mba Tien.. Soalnya reviewmu bikin aku jadi penasaran :D
BalasHapushahaha... cari yuks, lalu baca...hihihi...
Hapusbaca isinya membuat berkaca-kaca, aku pernah mengalami soal ini ditentang keluarga gara-gara beda suku hehehehe juga beda agama, ok kalau soal agama, tapi kalau suku kita ga bisa memilih dari suku mana kita dilahirkan, sayangnya belum semua orang tua terbuka dengan hal ini, good bok mba
BalasHapuswahhh, resensi ini bikin baper yaa...
HapusSaya punya buku Hujan Bulan Juni ini, dikasih teman (tepatnya teman suami). Bukunya memang tipis, isinya "berat" bagi saya. Sekali baca, masih belum bisa menangkap isi bukunya.
BalasHapusIya, Mbak, isinya berat...
Hapuseh mba tinbe punya blog buku baru tahu nih aku... sebelum beli buku bisa nih mampir sini dulu baca-baca resensinya...
BalasHapushahaha ...iya nih, mbak
HapusPenasaran dengan endingnya aku mbak...dan menurutku tulisan fiksi itu sulit dan rumit. Aku blm berhasil menulis cerita fiksi lho...
BalasHapusbetul, fiksi lebih butuh perenungan
Hapushahaha klo penasaran bacalah, Mbak ...
BalasHapus