Kamis, 14 Oktober 2021

[Book Review] Ketika Sekuntum Sumanasa ...

 

Penampakan bukunya

Ketebalan buku ini sedang-sedang saja. Tak begitu tipis, juga tak begitu tebal. Kalau ukurannya sih, sedikit lebih besar daripada buku pada umumnya.

Warna sampulnya kuning mencolok dengan desain yang bernuansa serius. Kesan serius kian kuat tatkala kita membaca judulnya. Terlebih ada label "saduran" segala.

Aha! Otak pun bersiap aktif mereka-reka, gerangan apa isi buku ini? Fiksikah? Nonfiksikah? Mengapa judulnya terasa tak kekinian?

Setelah membaca halaman "Sambutan" dan "Kata Pengantar", barulah saya paham sepenuhnya. Rupanya buku ini merupakan saduran dari sebuah kakawin yang berjudul Sumanasantaka (terjemahannya: Mati Karena Bunga Sumanasa) karya Mpu Monaguna.

Siapa Mpu Monaguna? Ia adalah seorang pujangga yang hidup pada masa Kerajaan Kediri (abad XIII). 

O, ya. Kakawin adalah puisi-tembang berbahasa Jawa kuno. Jadi, bahasa asli yang dipergunakan Sumanasantaka pastilah bahasa Jawa kuno. Namun, sumber untuk keperluan penyaduran ini adalah terjemahan dan kajian atas Sumanasantaka yang dilakukan oleh P. Worsley, S. Supomo, dan M. Fletcher yang bekerja sama dengan T. H. Hunter.

Tentu saya tak akan membahas detil siapa nama-nama tersebut. Kali ini kita sebut sepintas lalu saja. Sekadar untuk menjelaskan asal muasal buku yang sedang kita ulas.

***

Jadi, dada siapa yang kejatuhan sekuntum sumanasa? Sesuai dengan judul bukunya, sudah pasti dada Dyah Harini.  Melalui peristiwa itulah, ia kemudian terbebas dari kutukan sebagai manusia.

Iya. Sesungguhnya Dyah Harini memang bukan manusia biasa. Ia merupakan jelmaan bidadari. Bagaimana kronologinya hingga ia bisa dikutuk jadi manusia?

Begini ...

Suatu ketika Dewa Indra merasa cemas sebab perbawa batin Begawan Trna Windu yang sedang melakukan tapabrata mengganggu stabilitas kahyangan. Sang Raja Dewa itu over thinking. Ketakutan kalau Sang Begawan bermaksud merebut kekuasaannya.

Dewa Indra pun memutar otak untuk bisa menghentikan tapabrata Sang Begawan. Alhasil, diutuslah bidadari terjelita (Dyah Harini) untuk menggoda. Tentu tujuannya mengganggu agar tapabrata Begawan Trna Windu terhenti.

Akan tetapi, rencana licik Dewa Indra gagal total. Identitas asli dan "misi" Dyah Harini ketahuan. Sang Begawan murka dan mengutuk Dyah Harini agar tak bisa kembali ke kahyangan. Bidadari jelita itu pun memohon-mohon ampun.

Sang Begawan pada akhirnya bersedia mengampuni. Ia memberi jaminan bahwa Dyah Harini bakalan terbebas dari kutukan sebagai manusia kalau tertimpa bunga sumanasa. Dalam arti, ia bakalan meninggal dunia kalau kejatuhan bunga tersebut. Adapun meninggal dunia baginya = terbebas dari kutukan menjadi manusia.

Singkat cerita, kutukan berjalan sebagaimana adanya. Dyah Harini terlahir ke bumi sebagai putri Raja Widarbha. Namanya Putri Indumati. Ia menjadi kesayangan semua orang, terutama kesayangan kedua orang tua dan kakak lelakinya. Kecantikan yang berpadu dengan kepintaran plus minat besar pada puisi, valid menyebabkannya bisa memesona semua insan.

Ketika memilih jodohnya melalui sayembara pun, Putri Indumati memilih Pangeran Aja yang selain mahir berperang, ternyata mahir pula menggubah syair-syair indah bermakna.

Perlu diketahui, Pangeran Aja sebenarnya pasangan Dyah Harini (Putri Indumati) saat di kahyangan. Kelak pada akhir cerita dikisahkan bahwa sepeninggal sang istri yang wafat sebab tertimpa bunga sumanasa, Pangeran Aja baru mendapatkan informasi ini dari seorang maharesi utusan Begawan Wasistha.

Informasi tersebut lumayan meredam kedukaan Pangeran Aja. Mengapa? Sebab ia menjadi tahu kalau nanti bakalan bersatu lagi dengan sang istri di kahyangan. Ia hanya perlu menunggu. Tentu dalam rindu yang membelenggu.

Pada bab terakhir buku ini dikisahkan bahwa Pangeran Aja memutuskan menyusul sang istri 8 tahun kemudian. Iya. Memutuskan "menyusul" dengan cara menenggelamkan diri di sungai besar.

Bunuh diri? Begitulah dalam bahasa vulgarnya. Cara serupa juga ditempuh oleh ibunya dan ibu mertuanya, ketika suami masing-masing meninggal dunia.

Hmm. Tolong tak usah menghakimi para tokoh cerita ini sebagai manusia kurang beriman dan berkomentar bahwa mereka otomatis masuk neraka, ya. Ingatlah bahwa ini sebuah cerita yang dikisahkan dalam kakawin. Bukan berita terkini dari sebuah media massa.

Lagi pula, tak bijak rasanya kalau kita berkomentar nyinyir bin julid terhadap sebuah berita terkini untuk kasus serupa. Buat apa melakukan lambe turah begitu? Toh kita sama-sama manusia yang tak luput dari dosa.

Yup! Demikianlah adanya buku saduran ini. Memang dipenuhi adu syair di antara para tokoh ceritanya. Seolah-olah mengingatkan pembaca bahwa di era 4.0 jelang 5.0 ini puisi/syair masih punya eksistensi dan fungsi. Terkhusus yang berisi gagasan tentang kebijaksanaan dan pengetahuan. Terkhusus lagi jika kebijaksanaan dan pengetahuan itu masih relevan untuk zaman sekarang.

Sesungguhnya isi cerita buku ini relatif biasa saja. Tidak penuh kejutan. Demikian pula cara pengisahannya. Konvensional. Penuh semangat didaktis. Aroma kezadoelannya amat terasa. Terlebih happy ending dan happy ending-nya sudah dapat diduga pembaca.

Akan tetapi, buku saduran dari kakawin ini memiliki keistimewaan tersendiri. Tak lain dan tak bukan, keistimewaan yang dimaksudkan terletak pada "pemujaan"-nya terhadap puisi dan penyair.

Dalam "Kata Pengantar", Rh. Widada pun mengakui bahwa baginya buku ini istimewa. Apa alasannya? Karena menempatkan kepenyairan atau perpuisian sebagai sesuatu yang berharga. Sungguh menarik!

Namun selain menarik, saya dibuat heran bin gemas gara-gara banyak sekali salah ketik dalam buku ini. Sampai-sampai saya curiga bahwa sebelum naik cetak, draf naskah tidak disunting sama sekali.

Editornya ke mana? Tim pracetaknya ke mana? Apakah sebelum naik cetak tidak ada konfirmasi untuk cek ricek naskah dengan penyadurnya (penulisnya)?

Eman-eman alias sayang sekali. Naskah saduran yang berharga begini kok terkesan sekadar diterbitkan demi memenuhi syarat administrasi. Sementara penulisnya (penyadurnya) telah bekerja serius sekian lama. Mana berlindung di balik jargon keren "demi kemajuan literasi bangsa" pula. Hehehe ....

Yang parah, nama penulis tidak tercantum di halaman identitas buku. Yang tercantum di situ adalah nama "Nurhata". Siapakah dia? Entahlah.

O, ya. Buku ini tidak untuk diperjualbelikan. Jadi kalau ingin membacanya, kita bisa meminjamnya di perpustakaan. Tak usah khawatir, meminjamnya pun bisa pilih secara daring.

SPESIFIKASI BUKU

Judul Buku:
KETIKA SEKUNTUM SUMANASA JATUH DI DADANYA Kisah Pembebasan Dyah Harini (Saduran)

Penulis:
Rh. Widada

Penerbit:
Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas Press) Bekerja Sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara

Tahun Terbit:
2019

Tebal Buku:
viii + 106 hlm

Ukuran Buku:
16 x 23 cm

ISBN:
978-623-200-147-3

27 komentar:

  1. Review bukunya menarik sekali... hanya bisa baca di perpustakaan ya, perpustakaan online bisa gak ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa banget. Pada kalimat terakhir telah saya sebutkan kalau bisa meminjam secara daring (dalam jaringan, yang berarti online).

      Hapus
  2. Wah menarik sepertinya. Jangan ingin baca gmn cerita selengkapnya, untung bisa dipinjam secara online

    BalasHapus
  3. Ada keistimewaan pada buku ini. Pemujaan terhadap puisi dan penyair. Buku seperti ini enaknya dibaca saat me time ditemani secangkir kopi panas dan camilannya 😊

    BalasHapus
  4. Wow, rekomendasi buku menarik. Sepertinya mau cepet-cepet pinjam ke i-Pusnas daripada keduluan orang lain hihi.

    BalasHapus
  5. reviewnya sangat menarik mbak... terlebih lagi aku suka banget sama sampulnya, polos tapi kelihatan elegan..

    BalasHapus
  6. Isinya serius juga gak sih mba? Liat sampulnya beneran berasa berat isi buku ini, apalagi kurang paham tentang puisi2 jawa kayak aku ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm. Pada tulisan di atas telah saya jelaskan tentang isi bukunya ....

      Hapus
  7. Wahh sayang banget kalau banyak kesalahan gitu dalam penulisan bukunya, apakah di penerbitan yang mencetak buku ini tidak ada editornya, sehingga dianggap bukunya sudah diperiksa dari penulisnya langsung?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ituvdia problemanya. Kalaupun penulis sudah cek ricek, tetap maaih ada kemungkinan salah nyiapin draf yg bakalan ficetak di bagian komputer. Maka tetap wajib dicek oleh editor dulu.

      Hapus
  8. Setuju, ketika membaca sebuah buku sama seperti menjalani kehidupan..tidak usah terlalu terburu buru untuk menghakimi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoi, Bang. Terlebih kita bukan hakim. Bisa jadi kita yang suka menghakimi justru berpotensi berstatus sebagai tersangka.

      Hapus
  9. Lha iki piye..nama penulis enggak ada....Salah ketik banyak seakan tak ada pemeriksaan sebelum naik cetak kan sayang benar buku saduran dari kakawin yang mestinya bisa diperkenalkan pada banyak kalangan pembaca jadi terlihat asal pembuatannya. Huhuhu..Padahal dah respect di depan akutuuu begitu tahu ini karya dari Mpu Monagonama di masa Kerajaan Kadiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, parah, Mbak. Tim pracetaknya entahlah gimana itu.

      Hapus
  10. Berarti termasuk buku yang unik ya karena tidak ada nama penulis dan ternyata diperjualbelikan juga ya berarti cuma bisa dipinjam di perpus Nasional. Untungnya bisa juga dipinjam secara daring.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan unik karena gak ada nama penulisnya. Ini keteledoran tim pracetak.

      Hapus
  11. Wahhh, buku yang menarik. Sepertinya setelah baru selesai menuntaskan buku karya Bapak Sapardi, nampaknya buku ini cocok untuk menjadi bahan bacaan selanjutnya. Nah, berhubung terbitan perpusnas Press, pasti ada di iPusnas dong?

    BalasHapus
  12. Kalau banyak kesalahan penulisan, kemungkinan ini buku kejar tayang mbak. Jadi tidak dilakukan proof reading dulu dan kemudian melakukan revisi pra-cetak. Btw membaca memang menyenangkan ya mbak, sehingga banyak hal yang keluar begitu saja dari benak kita, hanya dengan tangkapan mata pada sebuah cover buku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali. Kejar tayang. Akan tetapi uaaa, apa tak bisa dibikin lebih baik ya? Eman bangeeet.

      Hapus
  13. Belum pernah baca bukunya kak. Jadi penhenwbaca di ipusnas. Bisa menambah wawasan lebih lagi.

    BalasHapus
  14. Ada kesulitan gak kak memahami buku ini? rasanya berat ya, tapi jadi penasaran nih, malah pengen baca sastra lama gimana ya, penuh syair tentunya sangat menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cara menyadurnya bagus. Jadi, enggak sulit dipahami.Hanya butuh menyetting pikiran dan imajinasi saja agar nyambung dengan pendeskripsian cerita.

      Hapus

Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.