Kamis, 26 Maret 2020

[Book Review] Novel HUJAN BULAN JUNI





BAGI penggemar karya SDD (Sapardi Djoko Damono), judul novel ini pastilah mengingatkan pada sebuah puisi fenomenal. Yakni puisi yang juga ditulis oleh SDD. Yang judulnya pun sama persis. 

Mengapa saya katakan fenomenal? Sebab puisi tersebut melejit ketenarannya. Terbukti disukai banyak orang. Terlebih ketika dijadikan lirik lagu (musikalisasi) dan menjadi soundtrack sebuah film. Kian bertambah saja yang menyukainya. 

Sungguh keren ‘kan? Betapa sebuah judul bisa dialihkan ke dalam berbagai bentuk karya. Semula merupakan judul puisi, lalu dibuat musikalisasi (menjadi lagu), kemudian dijadikan komik, rencananya nanti jadi film, dan yang sedang kita perbicangkan ini adalah bentuk novelnya. 

Sebenarnya saya sendiri belum pernah melihat bentuk komiknya. Informasi mengenai bentuk filmnya pun saya belum tahu, apakah sudah dibuat atau masih dalam tahap rencana. Namun yang jelas, ada informasinya di sampul belakang novel.  

Dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film, kini puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono beralih wahana menjadi novel.  

Yang bikin makin keren, apa pun bentuk atau wahananya, semua disukai banyak orang. Novel yang saya baca ini saja merupakan cetakan yang ke-18. Dahsyat ‘kan? Betapa nama SDD memang menjadi semacam jaminan mutu. Plus sangat menjual tentunya. 

Lalu, berkisah tentang apakah novel Hujan Bulan Juni? Novel ini bercerita tentang kisah cinta Sarwono dan Pingkan. Keduanya sama-sama dosen di sebuah universitas di Jakarta. Daerah asal mereka juga sama, yaitu Solo. 

Yang berbeda adalah agama dan suku bangsa mereka. Sarwono adalah orang Jawa tulen dan beragama Islam. Sementara Pingkan adalah seorang Nasrani. Darahnya pun campuran sebab ibunya Jawa dan ayahnya Manado. 

Akan tetapi, para orang tua tidak berkeberatan dengan rencana pernikahan mereka. Semua keputusan diserahkan kepada yang akan menjalani.  Yakni Sarwono dan Pingkan.

Yang kasak-kusuk menolak sejak awal justru keluarga besar ayah Pingkan. Salah seorang tantenya bahkan terang-terangan menjodohkan Pingkan dengan sesama pria Manado. Kolega Sarwono pula. Padahal, Sarwono telah bela-belain ikut Pingkan “mudik sejenak” ke kampung halaman sang ayah. 

Alasannya klasik. Khas masyarakat Indonesia yang majemuk di segala lini: perbedaan agama dan suku bangsa

Namun sesungguhnya, kisah cinta Sarwono dan Pingkan hanyalah alat. Yakni alat untuk menyampaikan amanat sang penulis, mengenai keniscayaan banyaknya “kasus percintaan” seperti yang dialami Sarwono-Pingkan, di bumi Indonesia tercinta. 

Maklum saja. Indonesia kita ini ‘kan sangat majemuk. Dan menurut saya, SDD lumayan berhasil menyajikan tema sensitif itu dengan cair, bahkan sesekali cenderung kocak. 

O, ya. Novel Hujan Bulan Juni memang tipis. Namun, janganlah disepelekan atau dibaca sambil lalu. Sebab faktanya, novel tersebut agak rumit. 

Isinya mengajak kita untuk berpikir kembali mengenai keindonesiaan kita. Terutama yang terkait dengan kemajemukan dalam agama dan suku bangsa. Yang kerap kali mematahkan hati pasangan majemuk seperti Sarwono-Pingkan. 

Iya, mematahkan hati. Karena pada akhirnya, hubungan asmara serupa itu terpaksa dikandaskan. Apa boleh buat? 

Lalu, bagaimana halnya dengan Sarwono dan Pingkan? Mereka akhirnya menikah atau tidak? Hmm. Saya sengaja tidak memberitahukannya di sini supaya kalian penasaran. Kalau penasaran ‘kan berpotensi untuk membacanya langsung. Haha! 

Demikianlah adanya. Novel yang mempergunakan alur sorot balik (flashback) ini memang agak rumit. Pantas saja pada sampul depan, ada label “18 tahun ke atas”. Kiranya pelabelan tersebut mengacu pada tingkat pemahaman dan pengalaman (calon) pembaca. 

Saya sendiri merasa amat beruntung pernah membaca Musashi (Eiji Yoshikawa) dan Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa THE RELIGION OF JAVA (Clifford Geertz). Jadi, saya betul-betul bisa nyambung dengan novel ini. Apa sebabnya? Sebab Hujan Bulan Juni melalui dialog antara Sarwono dan Pingkan, serta monolog yang dilakukan Sarwono, banyak menyinggung isi kedua buku tersebut. 

Nah, lihatlah. Betapa sebuah novel ditulis dengan sedemikian serius dan pelik. Referensinya pun buku yang tak sembarangan. Jadi, siapa bilang novel--yang notabene fiksi--merupakan karya yang “main-main” belaka?    



SPESIFIKASI BUKU


Judul Buku: 
HUJAN BULAN JUNI 

Penulis: 
Sapardi Djoko Damono

Penerbit: 
Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 
Oktober 2019 (cetakan ke-18)

Tebal: 
vi + 138 hlm

Ukuran: 
14x20 cm

ISBN: 
978-602-03-1843-1




13 komentar:

  1. aq juga punya bukunya di rumah tapi belum selesai dibaca, dan entah kemana tersimpan..hahaha

    BalasHapus
  2. Sepertinya aku jadi tergoda untuk membacanya juga nih, mba Tien.. Soalnya reviewmu bikin aku jadi penasaran :D

    BalasHapus
  3. baca isinya membuat berkaca-kaca, aku pernah mengalami soal ini ditentang keluarga gara-gara beda suku hehehehe juga beda agama, ok kalau soal agama, tapi kalau suku kita ga bisa memilih dari suku mana kita dilahirkan, sayangnya belum semua orang tua terbuka dengan hal ini, good bok mba

    BalasHapus
  4. Saya punya buku Hujan Bulan Juni ini, dikasih teman (tepatnya teman suami). Bukunya memang tipis, isinya "berat" bagi saya. Sekali baca, masih belum bisa menangkap isi bukunya.

    BalasHapus
  5. eh mba tinbe punya blog buku baru tahu nih aku... sebelum beli buku bisa nih mampir sini dulu baca-baca resensinya...

    BalasHapus
  6. Penasaran dengan endingnya aku mbak...dan menurutku tulisan fiksi itu sulit dan rumit. Aku blm berhasil menulis cerita fiksi lho...

    BalasHapus
  7. hahaha klo penasaran bacalah, Mbak ...

    BalasHapus

Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.