Kamis, 04 Juli 2019

[Book Review] Gadis-gadis Amangkurat




"Tidak kalah memikat dengan cerita-cerita silat SH Mintardja atau Riyono Pratikto ... novel ini punya kemungkinan menjadi lebih dari sekadar hiburan." Demikian testimoni Bapak Faruk (Guru Besar FIB UGM). 

WOW! Kalau beliau bersedia memberikan testimoni bagus begitu, ya sudah. Insya Allah novel ini memang sangat perlu untuk dibaca. Buktinya, aku yang kurang suka novel sejarah merasa terpikat. Begitu membaca bagian pembuka, langsung penasaran untuk menuntaskannya.

Iya. Aku menyukai novel ini. Apa alasannya? Sebab novel ini bisa membuatku terhibur, terkenang pada segala lara gara-gara rasa cinta yang sedemikian rupa, sekaligus teringat pada pelajaran sejarah (terkhusus bab Kerajaan Mataram). Dahsyat 'kan? One stop shopping. Haha!

Sesuai dengan judulnya, novel ini memang berkisah tentang gadis-gadis Amangkurat. Yakni para gadis cantik yang dipersiapkan untuk menjadi selir bagi Amangkurat, sang penguasa Mataram sepeninggal Sultan Agung. Jadi, fokus penceritaan tidaklah pada kehidupan mereka di dalam kraton. Bukan pada kehidupan para selir, melainkan pada kehidupan para calon selir.

Cerita dibuka dengan adegan hiruk-pikuk di Pasar Pleret. Kehirukpikukan itu disebabkan oleh munculnya pasukan berkuda Kraton Mataram. Rupanya mereka sedang memburu Nyai Gambir, seorang abdi dalem keputren, yang dicurigai terlibat pembunuhan Kanjeng Ratu Truntum. 

Konon sekelompok selir yang dilanda cemburu menyuruh Nyai Gambir untuk meracun istri kesayangan Amangkurat itu. Skenarionya, begitu usai melakukan "tugas" si abdi dalem kabur dari kraton. Dan pagi itu, Nyai Gambir kabur dengan cara mengelabui orang-orang kraton. Ia bilang hendak ke pasar sebab diutus untuk menemui penjual tembakau Kedu. 

Ketika orang-orang menyatakan bahwa pagi itu belum ada seorang abdi dalem pun yang ke pasar, pasukan Mataram tidak percaya. Mereka marah-marah dan menggeledah tiap orang dengan seenak perut. Berharap mendapatkan secercah petunjuk. 

Sial bagi Warsi, kakak Jalu, yang pagi itu ke pasar dengan mengenakan kemben lungsuran seragam abdi dalem kraton. Iya. Itu memang lungsuran dari Nyai Gambir. Hanya saja, Warsi tidak memperolehnya langsung dari si abdi dalem. Barang itu diperoleh Warsi dari buliknya. Buliknyalah yang kenal dengan Nyai Gambir.

Apa boleh buat? Dari kemben lungsuran itu, nasib tragis Warsi bermula. Ia ditangkap, dipenjara bersama puluhan abdi dalem keputren, diperkosa sekelompok prajurit Mataram, lalu dibuang di jalanan sepi dalam kondisi hamil dan gila.

Nasib yang menimpa Warsi membuat Jalu mendendam pada orang-orang Kraton Mataram. Dendam itu pun kian berurat akar ketika Sunthi, tambatan hatinya yang konon punya wajah dan suara mirip Kanjeng Ratu Truntum, diambil paksa untuk dijadikan calon selir Amangkurat. Terlebih pada saat yang bersamaan, ayahnya juga diberi hukuman mati oleh Kraton Mataram. 

Namun,  siapa yang menyangka bahwa prahara cinta antara Pangeran Adipati Anom (putra mahkota Mataram) dan Rara Oyi (calon selir Amangkurat, yang berarti calon ibu tirinya) justru membuat Jalu bisa kembali berjumpa dengan Sunthi. Setelah Pangeran Adipati Anom diberi hukuman untuk membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri, tangan nasib membawa Sunthi untuk kabur menjauhi kraton. Ia dibantu Jarot, sahabat masa kecil Jalu, yang ternyata menjadi abdi dalem Pangeran Adipati Anom. 

Alhasil melalui campur tangan tetua yang menjadi pelindung, Jarot dan Sunthi berhasil ditemukan oleh Jalu. Akan tetapi, ketiganya kemudian sama-sama mati. Apa penyebabnya? Hmm. Pantang aku informasikan di sini, dong. Tujuannya agar kalian mau mencari bukunya. Percayalah. Membaca langsung bukunya jauh lebih seru daripada sekadar membaca ulasanku ini. 

O, ya. Begitu menamatkan novel ini, seketika aku bergumam, "Sungguh-sungguh cinta yang tragis." 

Betapa tidak tragis? Semua tokoh dalam novel ini tak ada yang sukses memeluk cintanya dengan damai. Dan sesungguhnya, novel yang berlatar masa pemerintahan Amangkurat 1 ini memang ingin menyampaikan bahwa cinta merupakan perkara yang pelik. Apalagi kalau kemudian bercampur-baur dengan nafsu, syahwat kekuasaan, dan motif ekonomi. 

Apa hendak dikata? Demikian itulah tabiat cinta. Betapa nyala cinta bisa menjadi pelita bagi hidup seseorang, sekaligus dapat pula menjadi pengantar bagi kematiannya. Dan secara gamblang, novel ini menyadarkan kita mengenai hal tersebut.


SPESIFIKASI BUKU

Judul Buku: 
GADIS-GADIS AMANGKURAT Cinta yang Menikam

Penulis: 
Rh. Widada

Penerbit: 
Narasi

Tahun Terbit: 
2011 (Cetakan 1)

Tebal Buku: 
268 hlm

Ukuran Buku: 
14 x 20 cm

ISBN (10) 979-168-263-1
ISBN (13) 978-979-168-263-3




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.