BEBERAPA tahun silam, nama Boy Candra sedemikian popular. Namun tatkala itu, entah mengapa, aku belum punya waktu khusus untuk menyimak kiprahnya lebih detil. Yeah? Aku terusterang saja sekadar tahu saking viralnya. Belum tahu karya-karyanya.
Hingga suatu ketika, seorang teman yang menjual buku secara daring, mempromosikan Senja, Hujan, & Cerita yang Telah Usai. Karena kepo maksimal dan sedang berduit, kubelilah dengan semangat hip hip hura. Akan tetapi, takdir menyebabkanku tak bisa segera membacanya dengan segera.
Eh, malah akhirnya pakai acara kelupaan segala. Setelah lebih dari tiga tahun, sudah pindah rumah pula, barulah kutemukan lagi buku tersebut. Hahaha .... Dasar kurang berjodoh. Alhasil, baru saat pandemi Covid-19 inilah aku sempat membacanya.
Lalu, bagaimanakah kesanku terhadapnya? Baiklah. Silakan simak untaian kesanku berikut ini. Namun sebelumnya, aku tayangkan penampakan bukunya ya ....
Buku ini sebenarnya tergolong tipis. Gampang pula dicerna maknanya. Temanya ringan. Tak sampai dua jam aku berhasil menuntaskannya. Tepatnya menuntaskannya dengan sedikit tertekan. Hehehe ....
Iya, lho. Beneran sedikit tertekan. Betapa tidak tertekan, kalau aku merasa kelelahan saat membacanya. Awas! Tolong hati-hati dalam memahami statemenku ini. Tertekan sebab kelelahan membacanya lho, ya. Bukan sebab kelelahan mencari-cari tema dan maknanya.
Asal tahu saja, dalam tempo singkat, menilik judul dan daftar isinya plus mencermati judul-judul bab/subbabnya, Alhamdulillah aku langsung paham temanya. Yang sesuai dengan judulnya, ya beraroma bucin-bucin gituuu.
Ada cerita tentang patah hati. Ada cerita tentang kenangan bersama mantan, yang dibawa oleh genangan air hujan. Ada cerita tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Dan hal-hal lain sejenisnya.
Kemudian di ujungnya, bab terakhir, bercerita tentang jalinan cinta yang super manis. Iya, super manis. Sebab pada bab terakhir itu dikisahkan tentang "aku (seorang laki-laki)", yang bikin draf surat untuk ayah dari kekasihnya, yang telah ikhlas menerimanya sebagai pendamping sang putri.
Lhah terus? Aku kelelahan membaca yang bagian mana, dong? Hehehe .... Apa boleh buat? Semua bagian bikin aku kelelahan. Iya, beneran. Entah mengapa aku merasa bahwa kalimat-kalimat dan cara bertutur buku ini melelahkan. Kurang mengalir.
Andai kata kalian (yang sudah membacanya) punya kesan berbeda, mohon jangan buru-buru nyolot kepadaku. Tenanglah. Aku tak bermaksud menganggap retjeh Boy Candra. Ini hanyalah perkara selera. Gaya menulis Boy Candra ternyata bukanlah seleraku. Begitu saja. Titik. Oke?
Kabar baiknya, aku mencatat beberapa "definisi" keren ala Boy Candra. Baik tentang hidup maupun tentang cinta. Misalnya yang terdapat pada halaman 47 ini.
.... Cinta adalah kesepakatan untuk menyetarakan. Tidak ada yang lebih tinggi dan yang lebih diingini.
O, ya. Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, "Buku ini sebetulnya fiksi atau nonfiksi, sih? Pada halaman identitas buku (hlm ii) tertulis sebagai novel-fiksi. Sementara Boy Candra sendiri, dalam bab "Pengantar Perasaan" (hmn v), menulis "Ini adalah buku nonfiksi kedua saya, setelah .... dst ...."
Ya sudahlah. Tak jadi soal. Mungkin hanya aku seorang yang mempersoalkannya. Hehehe ....
Demikianlah ulasanku terhadap Senja, Hujan, & Cerita yang Telah Usai. Semoga ada gunanya bagi kalian. Semoga pula bermanfaat dunia akhirat bagi diriku sendiri. Entah apa pun bentuknya dan seberapa pun persentasenya.
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku:
Senja, Hujan, & Cerita yang Telah Usai
Penulis:
Boy Candra
Penerbit:
Mediakita
Tahun Terbit:
2016 (Cetakan ke-14)
Ukuran Buku:
13 x 19 cm
Tebal Buku:
viii + 240 hlm
ISBN:
979-794-499-9
Hingga suatu ketika, seorang teman yang menjual buku secara daring, mempromosikan Senja, Hujan, & Cerita yang Telah Usai. Karena kepo maksimal dan sedang berduit, kubelilah dengan semangat hip hip hura. Akan tetapi, takdir menyebabkanku tak bisa segera membacanya dengan segera.
Eh, malah akhirnya pakai acara kelupaan segala. Setelah lebih dari tiga tahun, sudah pindah rumah pula, barulah kutemukan lagi buku tersebut. Hahaha .... Dasar kurang berjodoh. Alhasil, baru saat pandemi Covid-19 inilah aku sempat membacanya.
Lalu, bagaimanakah kesanku terhadapnya? Baiklah. Silakan simak untaian kesanku berikut ini. Namun sebelumnya, aku tayangkan penampakan bukunya ya ....
Buku ini sebenarnya tergolong tipis. Gampang pula dicerna maknanya. Temanya ringan. Tak sampai dua jam aku berhasil menuntaskannya. Tepatnya menuntaskannya dengan sedikit tertekan. Hehehe ....
Iya, lho. Beneran sedikit tertekan. Betapa tidak tertekan, kalau aku merasa kelelahan saat membacanya. Awas! Tolong hati-hati dalam memahami statemenku ini. Tertekan sebab kelelahan membacanya lho, ya. Bukan sebab kelelahan mencari-cari tema dan maknanya.
Asal tahu saja, dalam tempo singkat, menilik judul dan daftar isinya plus mencermati judul-judul bab/subbabnya, Alhamdulillah aku langsung paham temanya. Yang sesuai dengan judulnya, ya beraroma bucin-bucin gituuu.
Ada cerita tentang patah hati. Ada cerita tentang kenangan bersama mantan, yang dibawa oleh genangan air hujan. Ada cerita tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Dan hal-hal lain sejenisnya.
Kemudian di ujungnya, bab terakhir, bercerita tentang jalinan cinta yang super manis. Iya, super manis. Sebab pada bab terakhir itu dikisahkan tentang "aku (seorang laki-laki)", yang bikin draf surat untuk ayah dari kekasihnya, yang telah ikhlas menerimanya sebagai pendamping sang putri.
Lhah terus? Aku kelelahan membaca yang bagian mana, dong? Hehehe .... Apa boleh buat? Semua bagian bikin aku kelelahan. Iya, beneran. Entah mengapa aku merasa bahwa kalimat-kalimat dan cara bertutur buku ini melelahkan. Kurang mengalir.
Andai kata kalian (yang sudah membacanya) punya kesan berbeda, mohon jangan buru-buru nyolot kepadaku. Tenanglah. Aku tak bermaksud menganggap retjeh Boy Candra. Ini hanyalah perkara selera. Gaya menulis Boy Candra ternyata bukanlah seleraku. Begitu saja. Titik. Oke?
Kabar baiknya, aku mencatat beberapa "definisi" keren ala Boy Candra. Baik tentang hidup maupun tentang cinta. Misalnya yang terdapat pada halaman 47 ini.
.... Cinta adalah kesepakatan untuk menyetarakan. Tidak ada yang lebih tinggi dan yang lebih diingini.
O, ya. Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, "Buku ini sebetulnya fiksi atau nonfiksi, sih? Pada halaman identitas buku (hlm ii) tertulis sebagai novel-fiksi. Sementara Boy Candra sendiri, dalam bab "Pengantar Perasaan" (hmn v), menulis "Ini adalah buku nonfiksi kedua saya, setelah .... dst ...."
Ya sudahlah. Tak jadi soal. Mungkin hanya aku seorang yang mempersoalkannya. Hehehe ....
Demikianlah ulasanku terhadap Senja, Hujan, & Cerita yang Telah Usai. Semoga ada gunanya bagi kalian. Semoga pula bermanfaat dunia akhirat bagi diriku sendiri. Entah apa pun bentuknya dan seberapa pun persentasenya.
SPESIFIKASI BUKU
Judul Buku:
Senja, Hujan, & Cerita yang Telah Usai
Penulis:
Boy Candra
Penerbit:
Mediakita
Tahun Terbit:
2016 (Cetakan ke-14)
Ukuran Buku:
13 x 19 cm
Tebal Buku:
viii + 240 hlm
ISBN:
979-794-499-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah sudi meninggalkan jejak komentar di sini.